Minggu, 07 November 2010

Cukil Kayu (xylografi)

Cukil kayu atau xylografi adalah teknik cetak relief dalam seni grafis, di mana gambar dipahat pada permukaan papan kayu, dengan bagian yang akan dicetak tetap sejajar dengan permukaan sementara bagian yang tak dicetak dicukil atau dipahat dengan tatah/alat cukil. Bagian yang dicukil dengan pisau atau tatah hasilnya menjadi "putih" (warna kertas atau bahan lain) , bagian yang tidak dicukil tetap sejajar dengan permukaan aslinya, hasilnya menjadi "hitam" (warna tinta). Seni cukil kayu disebut juga dengan "xilografi" ("xylography") tapi kata ini jarang digunakan dalam bahasa Inggris.

Cukil kayu / woodcut yang sering disebut juga sebagai xilografi (xylography), sebagai teknis grafis paling awal, kian lama kian ditinggalkan meskipun sebenarnya masih cukup bermanfaat bagi beberapa kebudayaan, mengingat kelebihan-kelebihan yang bermanfaat bagi perjuangan-perjuangan pada kondisi tertentu.
teknik cetak relief ini menghasilkan gambar maupun tulisan melalui proses pencetakan menggunakan permukaan lembar kayu ataupun lembar linoleum yang dipahat atau dicukil menggunakan tatah sebagai pencetak setelah dibubuhi cat atau pewarna pada kain maupun kertas yang sedikit dibasahi. apabila ingin menggunakan kombinasi warna, maka kita harus menggunakan cetakan yang berbeda bagi setiap warna yang digunakan. Teknik pencetakan ini bertolak belakang dengan teknik cetak intaglio dan etsa (etching) yang justru bagian yang tergores menampung tinta yang kemudian dicetakkan pada kertas.
Teknik cukil kayu ini di China telah digunakan untuk mencetak gambar dan tulisan sejak abad ke-5. sedangkan di Eropa teknik ini dikembangkan sekitar tahun 1400an hingga teknik serupa dimassalkan oleh Gutenberg. Di Jepang cukil kayu yang dikenal sebagai Ukiyo-e, pernah mengalami masa keemasan di masa periode Edo (1600-1868 Masehi). Cetakan-cetakan tersebut berupa fiksi yang banyak bersubyekkan dunia Geisha serta prostitusi yang marak di jaman feodal Jepang saat itu. Cetakan-cetakan tersebut sangat digandrungi masyarakat klas menengah atas saat itu. Cetakan-cetakan yang halus dirilis dalam ilustrasi buku ini kemudian menjadi ikon seni rupa Jepang saat itu, bahkan Ukiyo-e merupakan cikal bakal bagi perkembangan komik Jepang ang membanjiri toko buku-toko buku dunia saat ini.
Namun dengan adanya Restorasi Meiji, sebagai respon dari tekanan Komodor Perry bersama Delegasi Amerika dalam Perjanjian Tanagawa pada tahun 1854 untuk membuka pasar serta peradabannya. Setelahnya, para interprenur barat telah memboyong tradisi seni Jepang ke dunia barat tewrutama ke Paris. Setelah kedatangan mereka, produk-produk seni budaya termasuk tradisi cukil kayu membanjiri dunia barat terutama Paris yang menjadi pusat kesenian saat itu. para pelukis beraliran Impresionist maupun post-Impresionis beramai-ramai menggunakan semangat, teknik ataupun efek teknik Ukiyo-e dalam berkarya. Sedangkan di Jepang sendiri perkenalan teknik cetak yang lebih efisien untuk industri pencetakan modern yang diimport dari dunia barat telah meredupkan tradisi Ukiyo-e.
Di Eropa banyak pula pekarya yang menggunakan media ini untuk berkarya serta mengekspresikan pandangan sosial politiknya. Sebut saja Kathe Kolwitz yang begitu menyentuhnya dalam menggambarkan pergolakan politik di masa dan tempatnya berpijak.
Sedangkan di Indonesia sebelum dan setelah jatuhnya Rezim Orde Baru di bawah komando Jendral bintang lima Suharto cukil kayu menjamur sebagai alat untuk memotret realita; merespon permasalahan sosial hingga mengagitasi kesadaran masa untuk berontak dan melawan kezaliman yang digelorakan oleh JAKER (Jaringan Kerja kesenian Rakyat) termsuk kelompok-kelompok yang ada diorbit mereka seperti komunitas anak-anak Sanggar Suka Banjir, Solo yang telah mengenal alat ini seperti yang terlihat disebuah terbitan alternatif Ajang sebelum keruntuhan rezim di atas. Perlu disebut, Penggunaan media cukil kayu pernah mencapai masa keemasannya ketika media ini diusung oleh Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi yang berbasiskan mahasiswa-mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia). Karya-karya tinggi estetika yang bertemakan ajakan melawan sisa-sisa orde baru, tema lingkungan hidup serta tema kerakyartan lainnya.
Dewasa ini media propaganda cukil kayu semakin ditinggalkan. Tradisi ini hanya tersisa dibeberapa komunitas marjinal seperti Sanggar Caping, Nurani Senja, Indie Art, JAKER, serta beberapa komunitas lainnya. Hal ini menurut hemat kami disebabkan oleh dua hal yang mendasar. Pertama, sebagai media berekspresi telah berkembang media-media baru seperti berkembangnya teknis pencetakan. Pencetakan selebaran, poster maupun media propaganda lainnya semakin massal, mudah dan murah. Hal kedua, berkembang pesatnya komputer grafis mengakibatkan migrasinya sebagian besar pekarya untuk menggunakan photoshop, Corel Draw dan lain sebagainya sebagai bahasa visual.
Namun ketika hak paten didengungkan, termasuk software komputer grafis sepenuhnya berpaten sebagai konsekuensi dari globalisasi, sehingga berimbas kepada harga yang mahal kalau tidak berhadapan dengan mekanisme hukum sebagai pembajak, beberapa pihak mencoba kembali menggunakan kembali seni cukil kayu. Termasuk yang dilakukan oleh Galeri Publik, institute for Global Justice yang bekerja sama dengan JAKER dan Indie art. Mereka mengadakan diskusi tentang media ini dan kemudian merancang serta melaksanakan workshop-workshop cukil kayu di beberapa komunitas kaum miskin kota dan komunitas buruh dipinggiran Jakarta yang kemudian dipamerkan. Ternyata sambutan masyarakat begitu antusias, ketika hasil karya manual dapat diperbanyak secara instan. Tema-temanya pun beragam, tetapi ternyata banyak dari karya-karya pesaerta workshop yang kebanyakan pemuda, pekerja seni maupun buruh ini banyak bicara tentang sistem ekonomi politik yang ada dikaitkan dengan realitas sosial yang ada. Dari gambaran kekumuhan di bawah jembatan layang, hingga badan-badan ekonomi dunia yang samar samar mereka pahami sebagai penyebab krisis ekonomi yang ada. Jelas sudah rakyat awam membutuhkan media-media alternatif untuk ‘berbicara’ ketika media massa besar dirasakan kurang menggambarkan permasalahan sesungguhnya di tingkatan keseharian. Nampaknya gairah itu menyeruak kembali. http://revitriyoso.multiply.com/journal/item/16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar